Nih Sertifikasi Guru, Antara Tuntutan Kesejahteraan Dan Profesionalisme
Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia seakan tiada habisnya dan mutu pendidikan seperti berada pada tingkat memprihatinkan. Kita bisa melihat begitu ramainya pemberitaan di media, dari tawuran pelajar antar sekolah, tawuran mahasiswa, penggunaan narkoba yang sudah merambah hingga siswa sekolah dasar, kekerasan oleh oknum guru terhadap siswa dan banyak sekali permasalahan lain.
Terlepas dari permasalahan di atas, hal yang menarik saya kira untuk dicermati yaitu kualitas pendidik di Indonesia khususnya di kawasan saya, terlebih sehabis masa otonomi kawasan dan sertifikasi bagi kalangan guru. Sertifikasi pendidik yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir serta otonomi keuangan kawasan membuka peluang upaya peningkatan kesejahteraan Guru. Pemberian tunjangan komplemen serta tunjangan sertifikasi/profesi bagi pendidik terbukti bisa mengangkat derajat kesejahteraan guru. Selain mengangkat derajat kesejahteraan pendidik, tujuan lain dari Sertifikasi Pendidik terutama yaitu bagaimana supaya Guru lebih profesional dalam menjalankan kiprah fungsionalnya sebagai pendidik, meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan serta kelayakan guru dalam melakukan kiprah sebagai biro pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun benarkah dan sudahkah tujuan tersebut tercapai? Benarkah Guru yang sudah disertifikasi tadi sudah profesional? Sebelum saya membeberkan beberapa fakta yang ada, baiknya kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan guru profesional. Menurut UU Sisdiknas No 14 Tahun 2005 Bab III pasal 7 yang dimaksud Guru Profesional berdasarkan prinsip profesionalisme antara lain;
a. mempunyai bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. mempunyai komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan adat mulia;
c. mempunyai kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. mempunyai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan bidang tugas;
e. mempunyai tanggung jawab atas pelaksanaan kiprah keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. mempunyai kesempatan untuk membuatkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat;
h. mempunyai jaminan proteksi aturan dalam melakukan kiprah keprofesionalan; dan
i. mempunyai organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kiprah keprofesionalan guru.
b. mempunyai komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan adat mulia;
c. mempunyai kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. mempunyai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan bidang tugas;
e. mempunyai tanggung jawab atas pelaksanaan kiprah keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. mempunyai kesempatan untuk membuatkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat;
h. mempunyai jaminan proteksi aturan dalam melakukan kiprah keprofesionalan; dan
i. mempunyai organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kiprah keprofesionalan guru.
Setelah kita mengetahui apa saja syarat guru profesional tadi mungkin perlu juga kita lihat fakta berikut yang ada di lapangan:
1. Masih ada beberapa oknum guru yang padahal sudah mempunyai sertifikat pendidik, namun masih sering terlambat untuk mengajar di kelas.
2. Persiapan mengajar yang kurang, indikasi ini terlihat dari masih malasnya guru untuk menciptakan dan membawa perangkat mengajar yang dibutuhkan ketika mengajar, contohnya RPP dan Silabus yang seharusnya dibawa pada ketika mengajar.
3. Masih ada guru bersertifikat, terlihat keluyuran pada jam kerja sekolah. Saat ini tampaknya ada anggapan di kalangan guru bahwa guru itu tugasnya hanya mengajar di kelas. Setelah jam mengajar selesai, hilang. Ya ini sebuah fakta, ucapan dari seorang oknum guru "Yang penting kan kiprah saya mengajarkan mata pelajaran ini sudah selesai".
4. Sudah menjadi diam-diam umum di kalangan guru, RPP, silabus dan perangkat mengajar yaitu hasil copy paste, maupun membeli hasil download dari internet kemudian mengupah seseorang untuk mengeditnya (karena memang ada yang berjualan di internet). Kemudian Guru mengubah nama sekolah, nama kepala sekolah dan nama pengajar yang ada. Saya sendiri resah dan masih bertanya-tanya, apakah memang sudah aturan bahwa RPP dan SILABUS dibentuk dan dikumpul sekaligus per Semester tahun fatwa kemudian dikumpulkan ke Kepala Sekolah untuk ditandatangani? Ini banyak terjadi. Jika memang demikian, hal yang wajar, bila jadinya seorang guru mengambil jalan pintas, copy paste atau membeli tadi. Padahal berdasarkan pengetahuan yang saya dapatkan di dingklik kuliah, kiprah menciptakan RPP dilakukan per pokok bahasan pada ketika bahasan itu akan di ajarkan di kelas.
5. Masih banyaknya guru yang gaptek (gagap teknologi) serta kurangnya penggunaan media pembelajaran.
Yang saya maksud gaptek disini adalah, pengetahuan dan praktek keseharian serta kemampuan seorang guru dalam memakai media komputer, media pembelajaran serta jaringan internet yang ada. Di tempat saya bekerja, saya tidak bisa menyampaikan secara niscaya ada berapa orang. Namun terlihat, hanya beberapa guru saja yang sering membawa dan mengoperasikan laptop untuk keperluan pengajaran. Selain itu, (hubungannya dengan point 4 di atas) sudah memperlihatkan sejauh mana tingkat kemampuan seorang guru dalam mengoperasikan komputer. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak bisa memakai komputer bisa menciptakan RPP, Silabus, ProTa maupun ProMes dalam waktu singkat? Media pembelajaran, sebagai contoh KIT IPA banyak terbengkalai dan mubazir alasannya tidak digunakan, banyak proteksi media-media pembelajaran tersebut yang tidak digunakan, entah alasannya malas atau tidak bisa menggunakan, hanya guru tersebut yang bisa menjawabnya. Jaringan internet yang adapun hanya segelintir guru saja yang mau menggunakan, itupun di ketika ada keperluan.
Yang saya maksud gaptek disini adalah, pengetahuan dan praktek keseharian serta kemampuan seorang guru dalam memakai media komputer, media pembelajaran serta jaringan internet yang ada. Di tempat saya bekerja, saya tidak bisa menyampaikan secara niscaya ada berapa orang. Namun terlihat, hanya beberapa guru saja yang sering membawa dan mengoperasikan laptop untuk keperluan pengajaran. Selain itu, (hubungannya dengan point 4 di atas) sudah memperlihatkan sejauh mana tingkat kemampuan seorang guru dalam mengoperasikan komputer. Bagaimana mungkin seorang guru yang tidak bisa memakai komputer bisa menciptakan RPP, Silabus, ProTa maupun ProMes dalam waktu singkat? Media pembelajaran, sebagai contoh KIT IPA banyak terbengkalai dan mubazir alasannya tidak digunakan, banyak proteksi media-media pembelajaran tersebut yang tidak digunakan, entah alasannya malas atau tidak bisa menggunakan, hanya guru tersebut yang bisa menjawabnya. Jaringan internet yang adapun hanya segelintir guru saja yang mau menggunakan, itupun di ketika ada keperluan.
Menurut saya ada beberapa penyebab mengapa hal-hal demikian bisa terjadi.
1. Kurangnya kesadaran dan tanggung jawaguru dalam menjalankan tugasnya. Padahal tanpa disertifikasi pun seharusnya seorang guru bisa menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sebagai seorang guru dan khususnya sebagai PNS abdi negara dengan segala daya dan kekurangan yang ada.
2. Kurangnya wibawa Kepala Sekolah. Terlihat bagaimana seorang Kepala Sekolah terkadang membiarkan guru terlambat dan tidak menciptakan perangkat mengajar tanpa memperlihatkan teguran dan hukuman yang terperinci dan tegas, salah satu efeknya... muncul kecemburuan antara guru yang sudah sertifikasi dan non sertifikasi.
3. Pengawas Sekolah kurang optimal menjalankan fungsi kepengawasannya.
Bisa dikatakan pengawas mengadakan kunjungan paling-paling 4-6 bulan sekali, atau Inspeksi Mendadak hanya pada ketika sehabis libur Idul Fitri. Mudah sangat jarang seorang pengawas mau berkunjung ke sekolah. Fungsi pengawas saya kira sangat penting, terlebih ketika fungsi kepemimpinan Kepala Sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka Pengawas Sekolah kiranya bisa mengambil tindakan atau kebijakan yang dianggap perlu untuk kepentingan sekolah.
Bisa dikatakan pengawas mengadakan kunjungan paling-paling 4-6 bulan sekali, atau Inspeksi Mendadak hanya pada ketika sehabis libur Idul Fitri. Mudah sangat jarang seorang pengawas mau berkunjung ke sekolah. Fungsi pengawas saya kira sangat penting, terlebih ketika fungsi kepemimpinan Kepala Sekolah tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka Pengawas Sekolah kiranya bisa mengambil tindakan atau kebijakan yang dianggap perlu untuk kepentingan sekolah.
4. Masih minimnya kemauan dan motivasi seorang guru untuk mengenal dan mempelajari lebih jauh teknologi, alat dan media pembelajaran yang tersedia.
Banyak alasan yang mengemuka mengapa bisa demikian, antara lain;
Banyak alasan yang mengemuka mengapa bisa demikian, antara lain;
- sulitnya membagi waktu antara mengajar, urusan keluarga dan urusan masyarakat,
- usia rata-rata guru juga berpengaruh, tentu berbeda antara guru yang renta (usia 45 tahun keatas) dengan guru yang masih muda dalam hal menangkap ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, contohnya dalam mempelajari penggunaan komputer.
- masih ada guru yang takut, takut laptop/komputer rusak, bila terjadi kesalahan.
- di beberapa kawasan pedalaman masih kekurangan prasarana yang memadai menyerupai listrik, jaringan komunikasi / internet mobile.
5. Kurangnya tindak lanjut upaya pengembangan diri dari Dinas Pendidikan dalam hal pelatihan.
Setiap tahun baik itu dinas pendidikan propinsi maupun kabupaten sering mengadakan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Sebagai contoh, banyak sekali macam proteksi barang media pembelajaran telah diberikan. Namun bisa dilihat di lapangan, media atau alat pembelajaran tadi mubazir, alasannya jarang bahkan tidak digunakan. Pertanyaannya? Apakah hal menyerupai ini kiprah Dinas Pendidikan, ataukah guru itu sendiri yang harus mempunyai kesadaran.
Salah satu upaya pengembangan kompetensi guru bekerjsama sudah berjalan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG), namun beberapa kelompok kajian guru tadi ada yang jalan ditempat bahkan mandeg.
Dari banyak sekali permasalahan di atas, dan melihat standar profesionalisme guru, nampaklah hingga sejauh mana tujuan tunjangan komplemen dan sertifikasi pendidik tadi, belum bisa dikatakan berhasil. Malah ada yang menyampaikan gagal. Mereka yang berasumsi gagal tadi bisa jadi sehabis melihat hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Online yang baru-baru ini digelar serta nilai Ujian Akhir yang tidak ada bedanya bahkan menurun antara masa sebelum ada sertifikasi pendidik dan sehabis ada Sertifikasi Pendidik
Dalam goresan pena ini, mungkin bisa saya sedikit solusi yang barangkali bisa dijadikan sebagai pola bagi pihak manapun dalam memperbaiki kinerja dan profesionalisme pendidik.
1. Pertama, saya yakin Anda semua setuju, bahwa namanya seorang pendidik, wajib mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, baik terhadap pekerjaan, siswa, sekolah terlebih lagi tanggung jawab moral dan agama sebagai makhluk Tuhan. Apalagi bila guru tersebut sudah PNS dan sudah mempunyai Sertifikat Pendidik. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran tersebut? Silakan saya kira Anda bisa menjawabnya.
2. Guru hendaknya mempunyai niat dan kemampuan yang kuat dalam hal penguasaan komputer dan media pembelajaran. Saya kira, penguasaan dasar-dasar Microsoft Office Word, Microsoft Excel dan Power Point sudah cukup memadai bagi seorang guru. Diakui atau tidak ini memang sulit, alasannya terkadang guru harus berbenturan dan membagi waktu antara urusan keluarga dan kewajiban sebagai guru. Faktor usia juga menghambat upaya ini. Tak mungkin juga memaksakan bila seorang guru yang sudah berusia lanjut harus bisa menguasai aplikasi Word dan Excel tadi. Ketersediaan prasarana penunjang contohnya jaringan internet dan buku-buku untuk berguru komputer menjadi hambatan besar, khususnya untuk daerah-daerah pedalaman. Kalau dibilang guru yang sudah sertifikasi tidak punya komputer/laptop saya kira alasan berlebihan, alasannya honor guru ketika ini sudah lebih dari cukup untuk membeli notebook yang bisa dibeli pada kisaran minimal harga Rp 2,5 jutaan. Hanya tinggal bagaimana kemauan diri saja lagi, mau berguru atau tidak.
3. Masih terkait dengan poin di atas, Kelompok-kelompok kerja guru hendaknya kreatif dan tidak monoton membahas masalah-masalah pengajaran saja, sesekali sebagai penyegaran, perlu juga diberikan pelatihan-pelatihan pengenalan komputer plus pemakaian media pembelajaran yang ada contohnya cara penggunaan proyektor. Berat rasanya bila mengharapkan pihak dinas terkait untuk memperlihatkan bimbingan training lanjutan, alasannya pada prinsipnya "Bukan Zamannya Lagi Memberikan Ikan yang Sudah Masak" kepada guru.
4. Perlu pengawasan yang lebih ketat terhadap sekolah dan kepada oknum guru yang terindikasi malas tadi, baik oleh Kepala Sekolah, Pengawas maupun masyarakat sekitar yang notabene lebih mengetahui kondisi sekolah. Keadilan antara guru sertifikasi dan non sertifikasi perlu diperhatikan, jangan hingga terjadi kesenjangan yang lebar dan ujung-ujungnya muncul iri diantara sesama guru.
5. Pemerintah, diharapkan supaya lebih lagi memperhatikan sekolah-sekolah di kawasan pedalaman, baik dalam hal penyediaan sarana maupun prasarana sekolah. Dibutuhkan kerjasama semua instansi pemerintah, alasannya secanggih dan semodern apapun sekolah, contohnya bila kondisi jalan yang rusak dan sarana transportasi yang kurang memadai juga berdampak pada keadaan sekolah.
Dengan goresan pena ini semoga bisa membuka wawasan bahwa masih banyak kekurangan di sana sini yang perlu dibenahi terkait dengan sertifikasi guru tadi, baik proses sertifikasi, pengawasan guru yang telah bersertifikasi, maupun bagaimana format yang terbaik supaya tujuan diadakannya sertifikasi pendidik, tidak hanya sebatas image bahwa "sertifikasi pendidik hanya sebagai alat peningkatan kesejahteraan semata".
Sebelum saya akhiri goresan pena ini, maaf bila ada kesalahan dalam bertutur, bukan bermaksud meng"generalisasi" bahwa semua guru itu gaptek, bahwa semua guru yang telah lanjut itu malas untuk berguru alasannya masih banyak guru yang memang benar-benar tulus mengajar walau tanpa disertifikasi, dan masih banyak guru yang walaupun sudah renta namun masih bersemangat untuk berguru memperbaiki kekurangan diri demi kemajuan sekolahnya. Semoga, Guruku benar-benar menjadi Pahlawanku.
Dalam goresan pena ini, mungkin bisa saya sedikit solusi yang barangkali bisa dijadikan sebagai pola bagi pihak manapun dalam memperbaiki kinerja dan profesionalisme pendidik.
1. Pertama, saya yakin Anda semua setuju, bahwa namanya seorang pendidik, wajib mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, baik terhadap pekerjaan, siswa, sekolah terlebih lagi tanggung jawab moral dan agama sebagai makhluk Tuhan. Apalagi bila guru tersebut sudah PNS dan sudah mempunyai Sertifikat Pendidik. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran tersebut? Silakan saya kira Anda bisa menjawabnya.
2. Guru hendaknya mempunyai niat dan kemampuan yang kuat dalam hal penguasaan komputer dan media pembelajaran. Saya kira, penguasaan dasar-dasar Microsoft Office Word, Microsoft Excel dan Power Point sudah cukup memadai bagi seorang guru. Diakui atau tidak ini memang sulit, alasannya terkadang guru harus berbenturan dan membagi waktu antara urusan keluarga dan kewajiban sebagai guru. Faktor usia juga menghambat upaya ini. Tak mungkin juga memaksakan bila seorang guru yang sudah berusia lanjut harus bisa menguasai aplikasi Word dan Excel tadi. Ketersediaan prasarana penunjang contohnya jaringan internet dan buku-buku untuk berguru komputer menjadi hambatan besar, khususnya untuk daerah-daerah pedalaman. Kalau dibilang guru yang sudah sertifikasi tidak punya komputer/laptop saya kira alasan berlebihan, alasannya honor guru ketika ini sudah lebih dari cukup untuk membeli notebook yang bisa dibeli pada kisaran minimal harga Rp 2,5 jutaan. Hanya tinggal bagaimana kemauan diri saja lagi, mau berguru atau tidak.
3. Masih terkait dengan poin di atas, Kelompok-kelompok kerja guru hendaknya kreatif dan tidak monoton membahas masalah-masalah pengajaran saja, sesekali sebagai penyegaran, perlu juga diberikan pelatihan-pelatihan pengenalan komputer plus pemakaian media pembelajaran yang ada contohnya cara penggunaan proyektor. Berat rasanya bila mengharapkan pihak dinas terkait untuk memperlihatkan bimbingan training lanjutan, alasannya pada prinsipnya "Bukan Zamannya Lagi Memberikan Ikan yang Sudah Masak" kepada guru.
4. Perlu pengawasan yang lebih ketat terhadap sekolah dan kepada oknum guru yang terindikasi malas tadi, baik oleh Kepala Sekolah, Pengawas maupun masyarakat sekitar yang notabene lebih mengetahui kondisi sekolah. Keadilan antara guru sertifikasi dan non sertifikasi perlu diperhatikan, jangan hingga terjadi kesenjangan yang lebar dan ujung-ujungnya muncul iri diantara sesama guru.
5. Pemerintah, diharapkan supaya lebih lagi memperhatikan sekolah-sekolah di kawasan pedalaman, baik dalam hal penyediaan sarana maupun prasarana sekolah. Dibutuhkan kerjasama semua instansi pemerintah, alasannya secanggih dan semodern apapun sekolah, contohnya bila kondisi jalan yang rusak dan sarana transportasi yang kurang memadai juga berdampak pada keadaan sekolah.
Dengan goresan pena ini semoga bisa membuka wawasan bahwa masih banyak kekurangan di sana sini yang perlu dibenahi terkait dengan sertifikasi guru tadi, baik proses sertifikasi, pengawasan guru yang telah bersertifikasi, maupun bagaimana format yang terbaik supaya tujuan diadakannya sertifikasi pendidik, tidak hanya sebatas image bahwa "sertifikasi pendidik hanya sebagai alat peningkatan kesejahteraan semata".
Sebelum saya akhiri goresan pena ini, maaf bila ada kesalahan dalam bertutur, bukan bermaksud meng"generalisasi" bahwa semua guru itu gaptek, bahwa semua guru yang telah lanjut itu malas untuk berguru alasannya masih banyak guru yang memang benar-benar tulus mengajar walau tanpa disertifikasi, dan masih banyak guru yang walaupun sudah renta namun masih bersemangat untuk berguru memperbaiki kekurangan diri demi kemajuan sekolahnya. Semoga, Guruku benar-benar menjadi Pahlawanku.
“Barangsiapa mau menjadi guru, biarkan ia memulai mengajar dirinya sendiri …
sebelum mengajar orang lain, dan biarkan ia mengajar dengan teladan,
sebelum mengajar dengan kata-kata....” (Chairil Anwar)
Related Posts