Nih Peta Dan Potensi Korupsi Pendidikan Indonesia


Laporan “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan (Education Public Expenditure Review)“, yang dirilis Bank Dunia pada tanggal 14 Maret 2013 kemudian mengatakan, bahwa anggaran fungsi pendidikan Indonesia  yang besarnya 20 persen dari APBN ternyata belum efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Namun informasi baiknya adalah, meningkatnya belanja publik di sektor pendidikan ini telah memperluas saluran pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi sekolah di kalangan siswa miskin, walaupun peningkatan itu lebih terlihat di pendidikan dasar.
anggaran pendidikan 2010 2015

Di bawah pola pembiayaan pendidikan ketika ini, porsi anggaran yang cukup besar dialokasikan untuk membayar honor guru serta membiayai jadwal sertifikasi guru. Anggaran yang diharapkan untuk membayar honor guru meningkat tajam seiring dengan meningkatnya jumlah guru secara keseluruhan, dan jumlah ini terus meningkat meskipun Indonesia merupakan salah satu negara dengan rasio siswa-guru paling rendah di dunia. Sementara itu, berdasarkan standar internasional, alokasi anggaran untuk pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan menengah atas dan sekolah tinggi tinggi di Indonesia masih tergolong rendah. Karena itu, pola pembiayaan yang berlaku kini sepertinya tidak akan membawa dampak  signifikan pada perbaikan kualitas pendidikan serta saluran pasca-wajib berguru 9 tahun bagi siswa miskin.




Hasil pemantauan lapangan yang dilakukan Tim Pencegahan KPK menyebutkan berbagai varian penyalahgunaan anggaran Biaya Operasional Sekolah (BOS). BOS merupakan dana pendidikan yang diberikan kepada satuan pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu, tujuan khusus BOS ialah membebaskan pungutan bagi seluruh peserta didik SD/SDLB negeri SMP/SMPLB/SMP/SATAP/SMPT negeri terhadap biaya operasi sekolah;  membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta; meringankan beban biaya operasi sekolah bagi peserta didik di sekolah swasta; mengurangi angka putus sekolah (SMA/SMK); meningkatkan angka partisipasi agresif (APK) siswa SMA/SMK. Potensi kebocoran dana BOS meliputi:

  1. Manipulasi jumlah siswa akseptor BOS lewat entri data yang dilakukan oleh pihak sekolah. Manipulasi ini bertujuan agar dana BOS yang mereka dapatkan lebih besar dari jumlah siswa yang membutuhkan dana tersebut. Dengan demikian oknum sekolah tersebut sanggup menganggarkan dana BOS yang bersama-sama tidak ada realisasinya, dialihkan ke kantong pribadi oknum sekolah tersebut.
  2. Penyerahan Laporan ke Provinsi seringkali menyelipkan gratifikasi, dengan kisaran 300 ribu (keterangan Gratif, 25/7).
  3. Seringnya peraturan berupa juknis yang tiba terlambat berdampak pada keterlambatan penerimaan dan distribusi dana ke daerah.
  4. Dimungkinkan adanya penyimpanan anggaran dana BOS dalam jangka waktu tertentu di Kas Umum Daerah.
  5. Pada ketika transfer dari KUD ke rekening sekolah, dimungkinkan adanya kuasa dinas untuk meminta cuilan (kisaran variatif) antara 10-50% dari total BOS), modusnya antara lain meminta setoran langsung, menjual produk, melaksanakan suap, dan meminta biaya administrasi.
  6. Penggunaan Dana BOS oleh sekolah juga berpotensi korupsi contohnya pengalokasian dana BOS yang tidak sesuai dengan 13 Item pembelanjaan dalam Juknis.
  7.  Laporan tahunan yang terjadi seringkali terlambat, bahkan terjadi manipulasi laporan.



Di tengah impian besar terhadap tugas pendidikan, dunia pendidikan justru berubah menjadi menjadi lahan subur bagi tumbuh-kembangnya penyelewengan dan korupsi. Laporan Kajian Satu Dasawarsa Korupsi Pendidikan ICW 2013 menyatakan bahwa dalam periode 2003-2013 ditemukan 296 kasus korupsi dana pendidikan yang disidik penegak aturan dan menyeret 479 orang sebagai tersangka (37% dilakukan oleh Dinas Pendidikan). Kerugian negara mencapai Rp 619 Miliar. Tetapi masih banyak kasus dalam pengelolaan dana pendidikan yang lolos dari penindakan. Sepanjang 2013, pendidikan termasuk ke dalam jajaran tiga besar sektor tersubur terjadinya korupsi, di bawah sektor infrastruktur dan keuangan daerah.

Besarnya anggaran pendidikan memang menjadi pemicu korupsi sektor ini. Korupsi sektor pendidikan menciptakan miris. Sebab, dampak yang dihasilkan tidak sekadar hitung-hitungan di atas kertas. Seperti kata Wakil Ketua KPK (non aktif) Bambang Widjojanto bahwa implikasi yang diakibatkan bukan hanya dilihat dari jumlah kerugian negara. “Dampaknya jauh lebih dahsyat lagi. Korupsi di sektor pendidikan, tidak hanya menciptakan kepercayaan masyarakat hilang. Lebih dari itu, juga sanggup menimbulkan masyarakat menjadikannya sebagai contoh. Hal ini, akan menimbulkan dunia pendidikan kehilangan role models,” kata Bambang.

Dalam kacamata Bambang, implikasi korupsi pada pendidikan memang pelik. Sebab, korupsi pada sektor tersebut akan selalu tekait dengan isu sumber daya insan (SDM). Bukan berarti korupsi sektor lain tidak menyeret dilema SDM. Namun, dapat dipercaya seorang pengajar atau mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, tentu jauh lebih membawa dampak. Itulah sebabnya, maka daya rusak akhir korupsi sektor pendidikan, jauh lebih besar. Daya rusak tersebut, imbuhnya, sanggup mencakup tiga hal. Pertama, pendidik akan kehilangan dasar legitimasi. Karena, ketika melaksanakan korupsi, value-nya sebagai pendidik juga hilang; Kedua, korupsi pada sektor pendidikan akan menimbulkan kepercayaan terhadap forum pendidikan dan pimpinan forum pendidikan menjadi hilang. Hal ini tentu mengkhawatirkan, lantaran bagaimana mungkin poroses pendidikan sanggup berjalan, jika tak ada kepercayaan terhadap forum pendidikan tersebut; Dan, ketiga, sektor pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran, akan kehilangan dasar legalitasnya.

http://acch.kpk.go.id/
Related Posts