Nih 8 Tuntutan Pgri Dalam Obrolan Pendidikan Dengan Wakil Presiden Jk
Sebagai Ketua PGRI Kota Sukabumi saya berkewajiban melihat dan memberikan apa yang sedang diperjuangakan PB PGRI pekan ini yang merupakan rangkuman dari “penderitaan” para guru dilapangan. Setelah saya membaca beberapa koran nasional dan WA organisasi maka ada beberapa pointer penting yang harus diketahui bersama para guru lintas organisasi. Guru satu badan dan PGRI ialah tulang besar yang menopang badan guru se-Indonesia. PGRI menjadi kapal induk para guru dengan segala keterbatasannya.
Tuntutan PGRI Dalam Dialog Pendidikan dengan Wapres JK |
Beberapa hal yang sedang dan akan terus diperjuangkan terutama ketika beberapa hari yang kemudian tepatnya tanggal 27 Mei 2016 dihadapan Wapres Republik Indonesia Jusuf Kalla. Hal yang menjadi usaha PGRI diantaranya, pertama berkaitan dengan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Plt. Ketua Umum PB PGRI Dr Unifah Rosyid menjelaskan perlunya TPG disatukan dengan gaji. Aturan TPG berbelit-belit dan banyak merugikan guru. Tunjangan profesi dosen (TPG dosen) berjalan lancar sebab menempel pada gaji. Bila disatuakan TPG dengan honor maka para guru akan hening dan siap meningkatkan pengembangan diri. Juknis TPG harus dilarang sebab rumit dan merugikan guru.
Kedua problem distribusi guru. Kebutuhan guru harus dianalisis dengan komprehensif terutama di jenjang SD (SD). Guru yang pensiun segera digantikan oleh guru honorer K-2 dan guru honorer non kategori. Karena jasa mereka dan peranannya sangat memilih dalam menopang kekuranganguru di setiap satuan pendidikian. Diskriminasi terhadap guru PNS dan honorer masih terjadi dimana-mana. Terutama yang honorer di sekolah negeri tidak sanggup mengikuti kegiatan sertifikasi (PLPG/PPGJ), menjadi guru ke luar negeri, mengikuti Olimpiade Guru Nasional (OGN), beasiswa pendidikan dll. Karena mereka tidak mendapat SK kepala kawasan yang menjadi prasyarat mendapat NUPTK dan banyak sekali kegiatan atau kegiatan kependidikan.
Ketiga, meminta kepada pemerintah sentra semoga pemerintah kawasan sanggup mengangkat guru honorer dengan jaminan santunan Gaji Minimum Profesi Guru dari APBD. Hal ini harus dilakukan semoga para pendidik sebagai elemen terpenting dalam membangun SDM kawasan melalui proses pendidikan tidak “sengsara”. Sungguh sangat anomalis terjadi dilapangan pendidikan kita. Sebagai contoh, dua orang guru yang sudah puluhan tahun mengajar mempunyai kiprah yang sama namun kesejahteraan yang jauh berbeda. Bila yang satu sudah PNS dengan honor dan TPG berpenghasilan Rp. 7 juataan dan yang satu lagi masih honorer di negeri dengan honor dibawah Rp. 1 juta, bahkan bisa dibawah Rp. 5.00 ribu. Ini satu realitas kesejahteraan guru yang “zig-zag” dan memperburuk dimensi pendidikan kita.
Keempat, Hari Guru Nasional (HGN) harus diselenggarakan secara tolong-menolong dengan HUT PGRI sesuai Kepres No 78 Tahun 1994. Mengapa demikian? Karena HGN ialah satu momen penting kenegaraan berkaitan usaha pendidikan terkait dengan hari lahirnya organisasi guru se-Indonesia yang kebetulan namanya ialah PGRI. Biarlah “kegaduhan” seremoni HGN dan HUT PGRI 25 November 2015 sebagai pelajaran dan jangan terulang lagi. Intinya pemerintah dan PGRI yang sudah lahir sebelum pemerintah ini ada sebaiknya bersinergi merayakan HGN dengan semua organisasi profesi. Dalam konsep saya “Bersatulah Guru Menuju Pendidikan Bermutu”. Guru bersatu negeri ini akan lebih baik/bermutu apalagi jikalau para gurunya tolong-menolong dalam ruang dan idelaisme yang lebih harmoni.
Kelima, pemerintah harus menetapkan PGRI sebagai organisasi profesi. Hal ini perlu dikuatkan semoga peranan PGRI sanggup menjadi lebih baik dan berkontribusi konkret terhadap peningkatan kapasitas para guru sebagai profesi. Kementerian Kesehatan menetapkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi, maka Kementerian Pendidikan wajib mengakibatkan PGRI juga sebagai wadah profesi bagi pendidik. Bila PGRI oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dikukuhkan sebagai organisasi profesi maka peningkatan sinergitas antara organisasi profesi guru dengan pemerintah akan lebih kondusif.
Keenam, berkaitan dengan dana BOS. Dana Bos sebaiknya sanggup selalu dicairkan secara lancar dan sempurna bulan pada awal tahun. Mengingat strategisnya dana BOS dalam memperlancar proses pendidikan. Dana oprasional sekolah dengan BOS yang lancar diharpkan akan mempercepat pembangunan pendidikan di Indonesia. Bukankah anggaran ialah belahan dari elemen penting perjalanan sebuah organisasi pendidikan atau satuan pendidikan? Selain perlunya dana BOS cair dengan sempurna dan lancar juga diharapkan penambahan volume anggaran dana BOS untuk membayar guru honorer. Semoga prosentasi pembiayaan guru honorer dalam BOS sanggup ditingkatkan volumenya. Terutama yang dinegeri, para honorer tidak ada yang sanggup TPG, ini sangat menyedihkan mengingat kiprah para guru intinya sama baikPNS ataupun non PNS.
Ketujuh, santunan aturan dari pemerintah terhadap guru harus benar-benar dilaksanakan. Bukankah dalam UUGD dan PP 74 para pendidik terlindungi secara hukum? Faktanya masih terdapat kasus-kasus di kawasan para guru anggota PGRI “dirumahkan” di tempat yang tidak seharusnya. Orangtua, masyarakat dan Kepolisian sebaiknya memahami tidak ada guru yang berniat melukai, melecehkan dan mendiskriminasi penerima didiknya. Maka MOU antara PB PGRI dan Mabes Polisi Republik Indonesia yang sudah dibentuk semenjak Desember tahun 2012 sanggup dilaksanakan sebaik-baiknya.
UURI HAM, UUPA, UUGD, PP 74 sebaiknya seirama dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Memang benar bahwa generasi muda/pelajat ialah warga negara yang paling berharga sebab calon penghuni masa depan namun gurupun ialah faktor penting sebagai “pelayan” masa depan generasi bangsa. Keduanya harus sama-sama “dimulyakan”.
Kedelapan, pemerintah sebaiknya lebih banyak memperlihatkan “support” dalam banyak sekali bentuk demi terciptanya akomodasi terbaik untuk para guru yang tergubing dalam organisasi profesi (PGRI) mendapatkan ruang mulut untuk menyebarkan diri. Guru hari ini jangan hingga tak bisa “melayani” penerima didik sebagai generasi Y, generasi milenium dengan segala kompleksitasnya. Guru yang terfasilitasi secara baik untuk menyebarkan kemampuan dirinya diharapkan bisa “bersinergi” dengan semua elemen pendidikan terutama dengan para penerima didik sebagai subjek.
Demikianlah setidaknya usaha PGRI ketika berdialog dengan Wapres Jusuf Kalla di Gedung Pusat PB PGRI Jakarta. Semoga para pengurus organisasi guru, kususnya PGRI dari ranting hingga PB PGRI mendapat kekuatan Illahi untuk tetap konsisten berjuang mewakafkan diri untuk kpentingan NKRI dalam dimensi pendidikan. Siapa yang memikirkan jamaah, negara dan publik maka Allah akan “merawatnya” DNK
disalin dari FB PB PGRI
Related Posts