Nih Guru Dan Revolusi Mental

Tak berlebihan kalau kita menyebut guru ialah kunci revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan secara simultan berjalan di bidang-bidang lainnya. Mengapa dunia pendidikan? Setidaknya 18 tahun waktu anak insan dihabiskan di dingklik pendidikan, mulai taman kanak-kanak sampai sekolah tinggi tinggi.

Lembaga pendidikan menjadi “rumah kedua” untuk menempa belum dewasa menjadi insan arif balig cukup akal yang bermartabat. Sayangnya, pendidikan yang dijalani selama ini belum sepenuhnya melahirkan insan Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Akibatnya, sejumlah penyelewengan dalam kehidupan berbangsa masih terjadi sampai dikala ini, bahkan cenderung semakin parah.

Kalau pada masa Orde Baru, praktik korupsi dan kongkalikong hanya terjadi di bulat dalam kekuasaan direktur dan di tingkat pusat, sekarang di Orde Reformasi, praktik haram tersebut merembet ke legislatif dan yudikatif, bahkan meluas ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Intoleransi pun semakin marak.

Kaum minoritas tak lagi menerima pemberian yang memadai serta menjadi target tindak kekerasan kelompokkelompok intoleran, serta sebagian warga negara tak leluasa beribadat sesuai anutan agamanya. Keserakahan pun menjadi-jadi, sehingga jurang antara orang kaya dan miskin semakin lebar.

Di samping penegakan aturan yang masih lemah, penyelewengan tersebut juga terjadi alasannya ialah semenjak usang anak didik di sekolah dan mahasiswa hanya menerima transfer pengetahuan, tanpa penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kehidupan. Para guru dan dosen hanya mentransfer ilmu, tetapi kurang menanamkan nilai-nilai moral.

Kondisi tersebut diperparah oleh orangtua yang sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga tak mempunyai waktu cukup untuk mendidik belum dewasa di rumah. Akibatnya, ketika bekerja dan bermasyarakat, mereka menjadi individu yang korup, intoleran, dan serakah.

Kenyataan yang memprihatinkan itu menciptakan Jokowi dikala berkampanye pada Pilpres 2014 menggagas tagline revolusi mental untuk memperbaiki kondisi bangsa yang karut-marut ini. Bagi kita, revolusi mental memang harus dimulai dari dunia pendidikan dan guru ialah motor penggerak, sekaligus teladan.

Setidaknya ada empat aspek yang harus diperhatikan biar guru benarbenar sanggup menjadi lokomotif perbaikan bangsa melalui gerakan revolusi mental.

Pertama, perbaiki kesejahteraan guru! Selama ini, sebagian besar guru bekerja sesuai argo. Mereka tiba ke sekolah hanya untuk mengajar dan bukan mendidik. Tak jarang waktu mengajar pun disunat alasannya ialah menjalani pekerjaan lain untuk menambah penghasilan. Kebijakan pemerintahan SBY untuk memperbaiki kesejahteraan guru melalui kegiatan sertifikasi guru patut diapresiasi, tetapi sayangnya kegiatan tersebut berjalan tersendat-sendat.

Kita berharap pemerintahan Jokowi sanggup lebih cepat menyejahterakan guru, termasuk segera mengangkat guru bantu dan guru honorer. Bila kesejahteraan guru semakin baik, kita percaya mereka akan mendidik anak bangsa dengan lebih baik, sekaligus menjadi model insan Indonesia yang telah mengalami revolusi mental.

Kedua, pembinaan guru. Sebagian Kurikulum 2013 bahwasanya telah mengadopsi sistem pendidikan yang terbukti sukses dijalankan sekolah-sekolah swasta tertentu untuk melahirkan siswa berprestasi dan berakhlak mulia. Oleh alasannya ialah itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya mengundang para guru yang terbukti berhasil mendidik siswanya untuk menyebarkan kiat sukses mendidik kepada koleganya dengan memadukan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Guru-guru tersebut juga menjadi model bagi koleganya.

Ketiga, penyebaran guru yang lebih merata. Ketimpangan penyebaran guru di Indonesia harus segera diatasi biar revolusi mental tak hanya berlangsung di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Jawa, alasannya ialah setiap kelas sanggup diasuh minimal satu guru.

Keempat, menimbulkan guru sebagai profesi mulia dan bergengsi. Melalui perbaikan kesejahteraan, kita berharap mulai dikala ini pemerintah merekrut bibit-bibit unggul untuk dididik menjadi guru. Calon guru bukan lagi berasal dari mahasiswa yang gagal lolos tes pada jurusan-jurusan favorit atau pilihan terakhir dikala masuk sekolah tinggi tinggi, tetapi mereka yang benar-benar terpanggil memperbaiki kehidupan bangsa.

Untuk itu, seleksi calon guru pun dilakukan lebih ketat. Selain guru, revolusi mental juga harus terjadi pada para penyelenggara negara, tokoh agama, dan pemuka masyarakat, yang berangsur-angsur menularkannya kepada masyarakat biar di masa mendatang insan Indonesia pun meninggalkan sikap korup, intoleran, dan serakah. ***
Related Posts